Minggu, 30 Juni 2013

Sinopsis I Miss You ep. 21-1



Jung Woo mengikuti arah GPS yang dibawa Soo Yeon, dan memberitahu seniornya kalau Soo Yeon dibawa keluar kota, mengarah ke daerah Soosung. Detektif Joo bertanya, di area mana Soosungnya? Apakah RSJ Jaekyung, sungai, atau villa?





Jung Woo belum tahu, tapi ia akan meninggalkan handphone yang menyala (agar bisa dilacak) di mobil dan meminta seniornya itu untuk mengikutinya.
Sedangkan Soo Yeon berada di sebuah tempat, sendirian dan gemetar. Ia semakin gemetar ketakutan karena mendengar suara langkah Hyung Joon yang sangat dikenalnya.
Tibalah Jung Woo di depan sebuah gudang. Gudang yang mengingatkannya pada panggilah lirih Soo Yeon. 
Gudang yang mengingatkannya pada tatapan kosong Soo Yeon yang tergeletak tak berdaya. Dan dari gudang itu pulalah, ia melarikan diri. Gudang itu pulalah yang menghantuinya selama 14 tahun ini.
Dalam hati, Jung Woo berkata, “Aku pernah memimpikan hal seperti ini sebelumnya. Kembali ke sini.. untuk membawamu, Soo Yeon.”
Dan iapun membuka pintu gudang. Tampak di depannya, Soo Yeon yang duduk dengan gemetar. Tapi saat melihat Jung Woo yang mengangguk padanya, ia menjadi tenang dan tak gemetar lagi.
Di samping, Hyung Joon duduk dan menodongkan pistolnya. Ia melemparkan GPS yang disimpan Soo Yeon ke kaki Jung Woo. Dan dengan pistolnya, ia menyuruh Jung Woo untuk duduk di kursi, berhadapan dengan Soo Yeon.
Sementara itu, ibu mulai membongkar kotak barang Jung Woo yang dulu pernah ia berikan saat menyuruh Jung Woo pulang, dan tersenyum melihat isinya, “Astaga.. ia membawanya kembali sama persis seperti saat kuberikan padanya.”
Tiba-tiba telepon rumah berbunyi, dan ibu menoleh mendengar suara itu.
Han Tae Joon dibawa ke kantor polisi, dan masih dengan sikap arogannya, ia membentak dan meminta pengacara pribadinya.. Tapi atasan Jung Woo tak gentar menghadapi bentakan Tae Joon. Ia malah menghardik Tae Joon yang berkonspirasi dengan pembunuh berantai, membiarkan putranya sendiri, Jung Woo, menghadapi pembunuh itu dengan tangan kosong untuk menyelamatkan Soo Yeon.
“Jika sesuatu terjadi pada Jung Woo atau Soo Yeon, kaulah bertanggung jawab atas kematian mereka,” ancam atasan Jung Woo tak menyadari kedatangan ibu Soo Yeon dan mendengar ucapannya.
Dengan tatapan nanar, ibu melihat Tae Joon menyalahkan polisi yang tak becus menangkap Hyung Joon yang cacat  dan menyuruh atasan Jung Woo untuk memanggil Pak Kepala Polisi agar menghadapnya.
Atasan Jung Woo kaget saat ibu muncul di hadapannya. Ia buru-buru menyapanya mencoba mengalihkan perhatian ibu dari Tae Joon yang belum pernah dilihat ibu dan bertanya alasan kedatangan ibu. Ibu datang karena ada telepon dari polisi yang menanyakan tentang keberadaan Soo Yeon dan ia ingin tahu apa yang sedang terjadi.
Saat menjawab pertanyaan itu, mata ibu tak pernah lepas dari Tae Joon. Ibu akhirnya melihat pria yang membuat Jung Woo, “Aku salah dengar, kan? Orang ini tak menipu Soo Yeon dan Jung Woo lagi, kan?”
Atasan Jung Woo mencoba mengajak ibu Soo Yeon untuk menyingkir, tapi ibu mendorong Tae Joon dan menggoncangnya, “Kembalikan anak-anakku! Kembalikan mereka!”
Tae Joon berdiri dan marah pada atasan Jung Woo, “Apa yang sedang kau lakukan? Keluarkan dia dari sini!”
Atasan Jung Woo kembali mencoba mengajak ibu Soo Yeon untuk menyingkir dengan mengatakan kalau pria itu adalah ayah Jung Woo. Tapi itu malah membuat itu marah, “Siapa yang menjadi ayah Jung Woo? Jung Woo bukanlah anaknya. Jung Woo adalah anakku! Akulah yang telah membesarkan Jung Woo selama 14 tahun!”
Mendengar hal ini, bukannya membuat Tae Joon marah, tapi ia malah tertawa. Tentu saja tawa itu membuat ibu heran sekaligus marah. Ia tak percaya melihat Tae Joon yang malah tertawa padahal Tae Joonlah yang menyuruh orang untuk mengumumkan kalau Soo Yeon mati dan membuat hidupnya seperti tercekik selama 14 tahun ini,
“Saat putriku harus mengalami mimpi buruk gara-gara kau, saat putraku harus hidup dalam penderitaan selama ini. Kau berani tertawa?” ibu histeris dan menarik jas Tae Joon.
Tae Joon serta merta mendorong ibu dan mengatainya gila. Atasan Jung Woo mencoba menahan ibu dan menyuruh anak buahnya untuk membawa Jung Woo pergi, tapi ibu belum selesai.
Ibu berkata kalau ia mungkin gila tapi Tae Joonlah yang bukan manusia, “Setelah semua yang terjadi, kau malah membantu pembunuh berantai itu? Di mana anakku? Di mana Jung Woo? Kembalikan anak-anakku!”
Ibu mencoba melepaskan diri dari atasan Jung Woo dan ingin mengejar Tae Joon yang sudah dibawa pergi, tapi atasan Jung Woo tetap memeganginya. 
Ibu tak berdaya dan hanya bisa menyumpahi Tae Joon yang sudah pergi, “Kalau ada sesuatu terjadi pada Soo Yeon ataupun Jung Woo, aku tak akan pernah melepaskanmu! Aku akan mengikutimu kemanapun engkau pergi dan akan menyiksamu! Jadi sebaiknya kau bersembunyi, bajingan tengik!”
Atasan Jung Woo hanya bisa memeluk ibu yang menangis tersedu-sedu.
Hyung Joon bertanya pada Jung Woo, bagaimana rasanya kembali ke tempat ini. Soo Yeon yang mendengar hal ini, bingung, tak tahu apa yang mereka bicarakan dan bertanya pada Jung Woo.
Jung Woo menyadari kalau Soo Yeon tak ingat kalau gudang ini adalah gudang tempat mereka disekap 14 tahun yang lalu dan ia bertanya pada Hyung Joon  apakah ini adalah cara terbaik sebagai percobaan terakhirnya? “Tujuan akhirmu adalah membawa kembali luka Soo Yeon dan lukaku?”
Hyung Joon mengira kalau Jung Woo sudah lupa. Apalagi Zoe. Pada Zoe ia bertanya ramah, “Kau melupakan bahkan setelah ia meninggalkanmu sendiri untuk melarikan diri?” Tapi ia kemudian membentak, “KAU MENCINTAINYA?!”
Soo Yeon melihat ke sekeliling gudang, dan ingatan itu kembali lagi. Saat-saat penculik itu bersiul gembira, dan datang dengan langkah mabuk, menghampiri mereka berdua. Ia gemetar ketakutan saat mengingat penculik itu menarik kakinya yang membuat pegangan tangannya pada Jung Woo terlepas.
Jung Woo melihat betapa ketakutannya Soo Yeon sekarang, meminta Soo Yeon untuk mengangkat wajahnya. Maksudnya adalah untuk menatapnya, karena ada dia di hadapan Soo Yeon sekarang.
Tapi Hyung Joon tertawa dan juga menyuruh Soo Yeon untuk mengangkat wajahnya, agar Soo Yeon bisa melihat Jung Woo yang meninggalkannya dan melarikan diri sendiri, “Kau meninggalkanku.. untuk orang seperti ini?!”
Soo Yeon semakin gemetar ketakutan dan Jung Woo menenangkan Soo Yeon kalau ia bukanlah anak 15 tahun yang dulu. 
Ia meminta Soo Yeon untuk melihatnya, “Tak peduli apapun yang terjadi, aku tak akan pergi kemanapun dan tak akan meninggalkanmu sendiri. Angkatlah wajahmu, Lee Soo Yeon!”
Perlahan-lahan Soo Yeon mengangkat wajahnya, menatap Jung Woo. Tapi yang di hadapannya bukan lah Jung Woo yang sekarang. Tapi Jung Woo yang memandangnya 14 tahun yang lalu. Jung Woo yang kemudian meninggalkannya walau ia memanggilnya.
Dan Soo Yeon pun bergidik ketakutan. Ia menjerit dan menarik-narik bajunya, sama seperti yang ia lakukan 14 tahun yang lalu.
Hyung Joon yang dulu memeluknya untuk menenangkannya, sekarang malah tertawa senang, seakan tujuannya berhasil.
Jung Woo pun hanya bisa menunduk, “Hari itu.. saat kedua tangan dan kakiku terikat, hal yang kusaksikan membuatku terkoyak,” Jung Woo menoleh pada Hyung Joon dan berkata kalau itu adalah air mata Soo Yeon. “Apa yang terjadi pada hari itu sangat tak tertahankan dan memalukan. Dan aku masih merasa ingin mati jika aku memikirkannya.”
Pada Soo Yeon ia berkata kalau ia masih merasa malu dan hina atas apa yang telah ia lakukan di hari itu, yang tak melakukan apa-apa, bahkan melarikan diri.
Mendengar hal itu, Soo Yeon mendongak dan menatap Jung Woo.
Jung Woo meminta Hyung Joon untuk melihat Soo Yeon. Apakah air mata (trauma) Soo Yeon berakhir karena ia berhasil membunuh Sang Deuk? Apakah semua yang terjadi pada Soo Yeon bisa pergi begitu saja? Jung Woo menyebut pamannya itu bodoh.
Bagi Jung Woo, Hyung Joon kehilangan Soo Yeon karena Tae Joon. Karena Hyung Joon terlalu sibuk membenci Tae Joon maka ia kehilangan Soo Yeon. Dan sekarang karena kebencian Hyung Joon padanya, Hyung Joon melukai Soo Yeon lagi.
Seharusnya Hyung Joon tak perlu memanggil Soo Yeon kemari karena saat itu ialah yang meninggalkan Soo Yeon dan melarikan diri. Soo Yeonlah yang seharusnya dapat terus membencinya,
”Kau tak perlu harus melakukannya sejauh ini. Bahkan aku .. masih belum dapat memaafkan diriku sendiri atas apa yang telah aku lakukan. Jadi hentikan semua ini!” kata Jung Woo marah dan berdiri.
Hyung Joon langsung menodongkan pistol ke arah Soo Yeon dan menyuruh Jung Woo, “Duduk!”
Jung Woo langsung terpaku, tak berani bergerak, takut kalau sedikit gerakannya akan membahayakan nyawa Soo Yeon. Sedangkan Soo Yeon sendiri yang tadi mulai tenang, mulai gemetar ketakutan lagi.
Hyung Joon setuju dengan kata-kata Jung Woo. Ia akan menghentikan semua ini karena semuanya tak ada gunanya lagi. Merintih ia berkata pada Soo Yeon, “Soo Yeon ah.. Lihatlah padaku. Maafkan aku juga. Aku tak ingin sendiri. Aku takut. Aku juga tak ingin dipenjara. Rasanya aku tercekik tak bisa bernafas karena merindukanmu. Kumohon.. lihatlah padaku.”
Hyung Joon mengulurkan tangannya, meminta Soo Yeon datang padanya, “Kemarilah, Soo Yeon.. kemarilah.. Zoe.”
Mendapat permohonan seperti itu, Soo Yeon berkali-kali melirik Jung Woo, seakan meminta pendapatnya. Jung Woo pun hanya bisa menatap keduanya, seakan ragu atas tindakan selanjutnya.
Sementara itu, Detektif Joo membawa pasukan khusus untuk menyelamatkan Jung Woo dan Soo Yeon. Salah satu pasukan itu memasukkan kamera ke dalam gudang, sehingga Detektif Choi dapat mendengar apa yang terjadi di dalam gudang.
Jung Woo meminta Harry untuk menurunkan senjatanya, “Apa yang sedang kau lakukan sekarang saja menakutiku. Jadi bagaimana mungkin Soo Yeon berani kembali padamu?”
Hyung Joon malah menembakkan pistol ke arah Jung Woo, membuat Soo Yeon berteriak kaget. 
Begitu pula Detektif Joo yang mendengar dari kamera mata-mata. Para polisi di luar pun segera bersiaga.
Tapi yang ditembak Hyung Joon adalah udara kosong, “Zoe dan aku sedang berbicara. Jangan ikut campur!” Hyung Joon mulai berbicara kembali pada Soo Yeon, “Zoe..”
Jung Woo menyela, “Kenapa kau tak membunuhku?” tanya Jung Woo akan tembakan gagal barusan, “Apa karena aku keluarga?” Hyung Joon menoleh, menatap Jung Woo yang menatapnya nanar, “Kenapa kita tak pernah bertemu? Apa karena Han Tae Joon?”
Hyung Joon tersenyum mendengar pertanyaan Jung Woo. Apakah Jung Woo baru menyadarinya sekarang? “Semua ini.. karena Han Tae Joon.”
Jung Woo mengiyakan. Semua ini karena ayahnya, Han Tae Joon. Ia bahkan belum bisa memaafkan ayahnya sampai sekarang. Apakah karena Hyung Joon kasihan padanya? Karena ia adalah anak seorang Han Tae Joon?
Tapi Hyung Joon bisa menebak maksud Jung Woo yang memiliki udang di balik batu. Seumur hidupnya ia hidup dari satu kebohongan ke kebohongan lainnya agar ia bisa selamat, “Jadi aku tak akan tertipu oleh kebohongan yang gampang ketahuan seperti itu.”
Sepertinya luka di kaki menyerang kembali, sehingga Hyung Joon merintih, “Zoe.. rasanya sakit sekali. Aku memimpikan kembali saat-saat kita ada di Perancis. Walau kau tak mencintaiku, tapi aku masih merasa bahagia. Aku ingin kembali ke masa-masa itu.”
“Hanya karena ini bukan jenis cinta yang kau inginkan, bukan berarti aku tak pernah menyayangimu. Bagiku dan bagimu.. kita adalah satu-satunya keluarga yang kita miliki. Aku tak berpikir kalau semua di dirimu adalah kebohongan. Harry, aku pun juga pembohong,” kata Soo Yeon menangis, “Aku membohongimu banyak hal. Aku berpura-pura telah melupakan semuanya. Aku berpura-pura tak merindukan semuanya.”
Soo Yeon meminta maaf telah berpura-pura tak menyadari semua tanda, padahal Hyung Joon sangat cepat dalam menyimpulkan sesuatu. Semua ini pasti berat ditanggung Hyung Joon sendiri.
Jung Woo melihat sekelebat lampu infra merah, pertanda ada orang yang menjadikan Hyung Joon sebagai target tembak. Ia melirik ke belakang, menyadari kalau bantuan telah tiba.
Hyung Joon menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengatai Soo Yeon bodoh. Kenapa juga Soo Yeon harus takut padanya? “Jika aku akhirnya harus membunuh semua orang di dunia ini, aku tak akan pernah membunuhmu.”
“Turunkan dulu senjatamu,” pinta Soo Yeon.
Tapi bagi Hyung Joon sudah terlambat. Yang ingin Hyung Joon lakukan sekarang adalah kembali ke rumah yang dulu pernah mereka tinggali bersama, bersama tongkat yang dulu pernah Soo Yeon buatkan untuknya.
Jung Woo terkesiap kaget, saat Hyung Joon akan meraih tongkat itu. Karena Hyung Joon akhirnya melihat infra merah yang mengenai tongkat itu dan tahu kalau ia sekarang menjadi target. 
Jung Woo meminta Hyung Joon untuk keluar bersamanya. Karena jika Hyung Joon memaksa untuk tetap tinggal di sini, maka akan lebih membahayakan Soo Yeon.
Tapi Hyung Joon malah mengarahkan pistolnya lagi pada Soo Yeon dan berteriak mengusir Jung Woo, “Katamu surga tak dapat dihuni sendiri, kan? Maka aku akan membawa Soo Yeon bersamaku,” dan iapun menghampiri Soo Yeon dan menjadikannya sebagai sandera.
Soo Yeon kembali gemetar ketakutan, dan memanggil nama Jung Woo. Jung Woo terbelalak, karena infra merah itu sekarang bergerak tak beraturan, kadang mengenai tubuh Soo Yeon. Gerakan sekecil apapun dari polisi yang membawa senapan, bisa membahayakan nyawa Soo Yeon.
Detektif Joo lari dari mobil pengawas kamera, menghampiri pimpinan pasukan khusus, memintanya untuk menunda melakukan tembakan karena target tembakan tak pasti dan malah akan membahayakan ketiganya. Ia mencoba meyakinkan kalau Jung Woo akan membawa korban keluar. Tapi polisi itu mendapat perintah dari atasan untuk menembak. Maka Detektif Joo meminta agar polisi itu mengulur waktu 5 menit saja.
Masih dengan infra merah yang bergerak liar ke seluruh tubuhnya dan Soo Yeon, Hyung Joon mengarahkan pistol ke leher Soo Yeon dan berkata kalau ia selalu iri pada Jung Woo. Karena itu pada akhirnya, ia juga akan menghitung sampai hitungan ketiga.
Tak ada jalan lain bagi Jung Woo untuk menyelamatkan Soo Yeon, kecuali menutupi Hyung Joon dan Soo Yeon, menghalangi infra merah itu agar tak mengenai keduanya. 
Ia pun berkata kalau Hyung Joon hanya iri pada hal-hal baik dari dirinya. Dan ia bertanya apakah Hyung Joon iri padanya? “Pada kakiku yang membuatku melarikan diri? Atau pada ayahku, Han Tae Joon? Pada ibuku yang meninggalkanku? Aku bahkan tak pernah tahu wajah ibuku.”
Jung Woo juga mengatakan kalau nanti Hyung Joon menembak Soo Yeon, cinta mereka (yang diirikan Hyung Joon) tak akan pernah hilang dan ia yakin kalau kematian Soo Yeon akan memperdalam perasaan duka yang ia rasakan. Apakah Hyung Joon masih akan mengirikan hal ini?
Mendengar kata-kata Jung Woo, Hyung Joon menjadi marah dan mengarahkan pistolnya kepada Jung Woo. 
Tapi Soo Yeon yang sekarang bebas dan melihat Jung Woo dalam bahaya, segera bangkit dan menghalangi pistol Hyung Joon, yang sekarang mengarah padanya.
Jung Woo terbelalak tak percaya melihat Soo Yeon lagi-lagi mempertaruhkan nyawa untuknya. Soo Yeon perlahan-lahan maju ke depan, mendekati pistol Hyung Joon dan berkata pada tunangannya, “Jung Woo-ya.. Terima kasih telah menungguku sekian lama. Tapi kali ini, aku akan pergi dulu dan akan menunggumu.”
“Joon-ah.. Aku benar-benar menyukaimu, tapi beginilah cinta,” Soo Yeon berjalan semakin mendekati pistol Hyung Joon, hingga akhirnya pistol itu ada di depannya dan ia meraih pistol itu dan mengarahkannya tepat ke dadanya. 
Dan pada Jung Woo, ia berpesan agar Jung Woo memastikan kalau Hyung Joon jangan dilukai.
Hyung Joon shock dengan kenyataan kalau Soo Yeon menjadikan dirinya sebagai umpan. 
Ia mundur, walau masih mengacungkan pistol ke arah Soo Yeon. Ia tak percaya pada kata-kata Soo Yeon, “Tidak.. tidak! TIDAK!  KAU PASTI BERBOHONG!!”
Tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, secepat kilat Jung Woo menarik tubuh Soo Yeon dan melindunginya. 
Melindungi dengan menutupi tubuh Soo Yeon dengan tubuhnya. Melindungi Soo Yeon agar tak terkena tembakan yang meletus dari pistol Hyung Joon.
Soo Yeon menjerit memanggil Jung Woo yang terjatuh ke lantai, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Hyung Joon pun shock melihat tembakan itu. Apalagi para polisi menerobos masuk ke dalam gudang.
Hyung Joon menatap Soo Yeon yang terisak, memohon Jung Woo agar bangun. Hyung Joon mengarahkan pistol ke kepalanya, memanggil Zoe. Tapi Soo Yeon menolehpun tidak. Ia hanya memanggil-manggil Jung Woo agar membuka mata.
“Aku.. aku.. akupun bisa mempertaruhkan nyawa untukmu.”
Tapi Soo Yeon seakan tak mendengarnya. Tak berani menggerakkan tubuh Jung Woo, Soo Yeon hanya bisa menutupi punggung Jung Woo yang mengucur darah dengan tangannya.
Hal itu membuat Hyung Joon semakin tak mengerti, “Jika itu yang kalian sebut dengan cinta, akupun juga bisa mati karenamu juga!”
Tapi teriakan Hyung Joon tak dapat didengar Soo Yeon, karena Soo Yeon terisak semakin keras karena nafas Jung Woo sudah semakin pendek. Hyung Joon berteriak meminta Soo Yeon untuk menoleh padanya,”Lihatlah padaku!!” Tapi Soo Yeon yang semakin panik memohon para polisi untuk menyelamatkan Jung Woo.
Hyung Joon putus asa melihat Soo Yeon yang tak sekalipun melihat kepadanya. Ia pun menarik pelatuk pistol itu, bersiap menembak kepalanya sendiri.
Tapi polisi lebih cepat, dan menembak lengan Hyung Joon, melumpuhkannya.
Setelah Hyung Joon terjatuh, polisi segera mendekati tubuh Hyung Joon dan Jung Woo. Soo Yeon yang tak mau pergi dari Jung Woo ditarik menjauh darinya dan Detektif Joo mencoba melihat luka di tubuh Jung Woo.
Hyung Joon menatap Soo Yeon yang ditarik pergi, mencoba sekali lagi berkata padanya meminta perhatiannya, “Peluklah aku.”
Kesadaran Jung Woo makin lama menurun, dan seakan mendengar Soo Yeon meminta maaf padanya. Dan ia meminta Soo Yeon tak perlu meminta maaf, “Kau tahu, kan? Aku menangis bukan karena aku sedih, tapi karena angin yang bertiup.”
Jung Woo dan Hyung Joon sama-sama dibawa ke rumah sakit dan bersiap untuk melakukan operasi.
Kondisi yang terlihat stabil lebih dulu adalah Hyung Joon. Namun ia pun belum sadarkan diri. Menurut dokter, dengan kondisi Hyung Joon sekarang, hanya keinginan untuk hidup dari si pasienlah yang akan membuat pasien sadar. Dan setelah menghadapi guncangan jiwa yang dialami pasien, dokter mengatakan akan melakukan tes untuk memeriksa syaraf pasien.
Dengan kejahatan yang telah Hyung Joon lakukan, kemungkinan besar Hyung Joon akan mendapat hukuman penjara maksimal. Detektif Joo bertanya, apakah mungkin Hyung Joon dapat bebas dengan kondisinya yang seperti ini? Atasan Jung menyangsikannya, karena Hyung Joon dalam kondisi waras saat melakukan kejahatan.
Dalam komanya, Hyung Joon teringat saat ia menyelamatkan Soo Yeon yang ditabrak oleh perawat Hye Mi. Dan bagaimana ia merasa sendiri dan meminta Soo Yeon untuk tak meninggalkannya.
Dan ia teringat, 14 tahun kemudian, Soo Yeon menyambutnya dengan hangat dan mengajarkan tangan sihirnya untuk melupakan semua kenangan buruk yang pernah ia alami. Dan bagaimana ia menenangkan Soo Yeon yang histeris setelah bertemu dengan Sang Deuk. Permintaannya agar Soo Yeon tak meninggalkannya kembali terucap saat ia menemani Soo Yeon tidur di kamarnya.
Komentar :

Apa itu cinta?
Menurut Hyung Joon, jika ia mencintai maka ia akan menghancurkan monster dalam kehidupan orang yang ia cintai itu. Maka dari itu ia membunuh  Hye Mi, Sang Chul dan Sang Deuk.
Namun saat Jung Woo mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan Soo Yeon, ia mengira begitulah cinta. “Jika itu yang kalian sebut dengan cinta, akupun juga bisa mati karenamu juga!” Dan ia pun menodongkan pistol ke kepalanya sendiri, siap untuk mati.


Tapi apakah itu memang cinta? 
Sampai sebesar ini, Hyung Joon tak mengerti apa arti cinta. Cinta yang ia terima hanyalah cinta kasih dari ibunya. Itupun berhenti saat ia berumur 12 tahun, saat ia terpisah dari ibunya. Dan ia menganggap ibunya meninggalkannya. 
Cinta yang ia miliki didampingi oleh rasa dendam pada Tae Joon. Jadi cinta yang ia miliki untuk Soo Yeon pun terungkapkan dengan cara yang tidak semestinya. 
Ia membunuh 'monster-monster' yang menghantui hidup Soo Yeon. Tapi benar kata Jung Woo. Apakah setelah monster itu mati, Soo Yeon tak akan menangis lagi? Apakah setelah membalas dendam Soo Yeon akan bahagia? 
Loving is letting someone be happy. 
Itu pulalah yang dilakukan Jung Woo saat melepas Soo Yeon dan berteman dengan Zoe. Jika Soo Yeon memang bahagia menjadi Zoe, maka ia akan melepaskannya. Tapi saat melihat tangan Soo Yeon yang terluka, ia tahu kalau Zoe tak bahagia. 
Tapi ia masih menuruti permintaan Zoe, namun ia memperingatkan jika ia melihat Harry melukai Zoe lagi dan membuatnya menangis, maka ia tak akan menunggu. Ia akan datang menjemput Soo Yeon.
Dan saat Harry  melempar gelas ke arah Zoe *ups, salah. Sejak kapan ada adegan ini ya? Only on my mind, kayanya* memukul tangan Jung Woo hingga mengenai Soo Yeon dan Soo Yeon menangis,  keputusan Jung Woo bulat. Ia akan mengambil Soo Yeon kembali. Apakah ia berani menyerahkan Soo Yeon pada Harry yang temperamental?
Apakah saat itu Harry mulai kehilangan Soo Yeon?
Menurut saya, Harry mulai kehilangan Soo Yeon saat ia membunuh monster pertama dalam kehidupannya. Hye Mi. Hidup bersama selama 14 tahun, membuat Harry dapat membaca tindakan Soo Yeon. Dengan mengatakan kalau ia akan pulang ke rumah Seoul, ia tahu kalau Soo Yeon akan menyusulnya.
Menurut saya semua yang ia lakukan dari pembunuhan Hye Mi/Michelle Kim hingga  Sang Deuk, sudah ia rencanakan dengan matang. Dari bertemu dengan Jung Woo, sedih di hadapan mayat Hye Mi, bahkan mengajak Soo Yeon ke pesta bisnis dengan kalung kunci di leher Soo Yeon, semua telah direncanakan dengan sempurna.
Namun semuanya menjadi kacau saat rencana Harry tak sesuai dengan kenyataan. Ibunya ternyata masih hidup dan Soo Yeon mengetahui kalau Jung Woo-ibu Soo Yeon ternyata tak pernah meninggalkannya. Bahkan Detektif Kim pun mati karenanya.
Harry pun mulai kehilangan fokus. Apakah Han Tae Joon jahat? Iya. Tapi Tae Joon ternyata tak pernah membunuh orang. Sesuatu yang tragis. Karakter yang paling jahat ternyata bukanlah pembunuh. Dan ibunya ternyata bisa mengingat putranya di saat-saat terakhir. 14 tahun kebencian yang sia-sia. 
Karena itu, maka ia bersedia bekerja sama dengan Tae Joon. Untuk merebut kembali cintanya yang telah hilang. Sesuatu yang tak pernah hilang jika ia tak membalas dendam pada Tae Joon. 
Jadi harapan Hyung Joon ada benarnya. Ia berharap bisa kembali lagi ke Perancis. Walau saat itu Soo Yeon tak mencintainya, tapi ia masih merasa bahagia. Tapi sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur. Bubur yang untuk dijadikan bubur ayam pun tak akan enak.
Bersambung ke Sinopsis I Miss You Episode 21 - 2 (Final)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar